Pada tahun 2018, terjadi konflik hebat di dalam perusahaan teknologi terkenal, Uber. Konflik ini muncul ketika sejumlah laporan muncul mengenai budaya kerja yang toksik di perusahaan tersebut. Beberapa karyawan dan mantan karyawan mengungkapkan pengalaman mereka yang mengganggu, termasuk pelecehan seksual, intimidasi, dan ketidaksetaraan gender. Seorang mantan insinyur Uber, Susan Fowler, memposting blog yang menggambarkan pengalaman pribadinya dengan pelecehan seksual di dalam perusahaan, yang kemudian memicu perdebatan luas.
Konflik ini menyebabkan CEO Uber saat itu, Travis Kalanick, terpaksa mengundurkan diri sebagai tanggapan atas tekanan publik. Perusahaan ini kemudian berusaha melakukan perubahan budaya yang signifikan, termasuk mengangkat seorang CEO baru, Dara Khosrowshahi, yang bertujuan untuk membersihkan citra perusahaan. Uber juga merekrut mantan jaksa agung Amerika Serikat, Eric Holder, untuk melakukan penyelidikan internal terkait pelecehan seksual dan melakukan perubahan kebijakan serta pelatihan untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.
Konflik di Uber menjadi sorotan utama dalam diskusi tentang isu-isu kesetaraan gender, budaya perusahaan, dan tanggung jawab sosial perusahaan. Ini menunjukkan bahwa bahkan perusahaan terkenal dapat terlibat dalam konflik yang mempengaruhi reputasi dan budaya perusahaan mereka. Konflik adalah suatu situasi atau interaksi yang terjadi ketika dua pihak atau lebih memiliki perbedaan dalam tujuan, nilai, kepentingan, atau pendapat, dan upaya untuk mencapai tujuan atau memenuhi kepentingan tersebut saling bertentangan, seringkali melibatkan ketegangan atau pertentangan antara pihak-pihak yang terlibat.
Berkaca pada kasus Uber di atas, apa sebetulnya konflik itu? Berikut beberapa definisi konflik menurut para ahli antara lain pertama Kenneth W. Thomas. Menurut Kenneth W. Thomas “Konflik adalah perbedaan dalam kepentingan di antara individu atau kelompok yang mungkin menciptakan ketegangan atau pertentangan antara mereka.
Ahli yang kedua adalah Stephen P. Robbins. Menurut Robbin Konflik adalah proses yang dimulai ketika satu pihak merasa bahwa pihak lain telah merugikan atau akan merugikan sesuatu yang dianggap penting. Selanjutnya ada Mary Parker Follett. Menurut Follett Konflik adalah suatu pertikaian ketika pihak-pihak yang terlibat bersikeras dalam pendapat mereka yang berlawanan. Yang terakhir ada Kurt Lewin. Menurut Lewin Konflik adalah hasil dari perbedaan-perbedaan yang ada dalam hubungan antara individu atau kelompok dalam kelompok sosial.”Rahim Afshin:
Apakah konflik juga terjadi di sekolah? Jawabannya iya. Penyebab konflik di organisasi sekolah bisa bervariasi, tergantung pada konteks dan situasi yang terjadi. Namun, secara umum, ada beberapa faktor yang bisa memicu konflik di organisasi sekolah, antara lain:
Pertama faktor struktural, yaitu faktor yang berkaitan dengan desain, sumber daya, dan proses organisasi. Contohnya adalah ketidakjelasan peran, tugas, dan tanggung jawab; ketimpangan alokasi sumber daya; dan ketidaksesuaian antara tujuan dan strategi organisasi.
Kedua faktor relasional, yaitu faktor yang berkaitan dengan hubungan antara individu atau kelompok dalam organisasi. Contohnya adalah kurangnya kepercayaan, rasa hormat, dan penghargaan; adanya persaingan, rivalitas, dan konflik kepentingan; dan adanya stereotip, prasangka, dan diskriminasi.
Ketiga faktor kognitif, yaitu faktor yang berkaitan dengan persepsi, pemahaman, dan penilaian individu atau kelompok terhadap situasi, masalah, atau orang lain. Contohnya adalah adanya kesalahpahaman, kesalahan informasi, atau kesalahan komunikasi; adanya perbedaan pandangan, pendapat, atau nilai; dan adanya perbedaan gaya, preferensi, atau kepribadian.
Menangani konflik di sekolah adalah salah satu tantangan yang dihadapi kepala sekolah. Konflik bisa mengganggu proses belajar mengajar, merusak hubungan, dan menimbulkan stres. Oleh karena itu, penting untuk memiliki keterampilan dan strategi dalam mengelola konflik secara efektif.
Beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menangani konflik di sekolah adalah mengidentifikasi sumber dan jenis konflik. Konflik bisa berasal dari faktor struktural, relasional, atau kognitif. Konflik juga bisa bersifat substantif, prosedural, atau emosional. Dengan mengetahui sumber dan jenis konflik, kita bisa menentukan pendekatan yang sesuai untuk menyelesaikannya.
Cara kedua adalah mendengarkan dengan empati. Salah satu kunci dalam menyelesaikan konflik adalah mendengarkan dengan empati. Artinya, kita berusaha memahami sudut pandang, perasaan, dan kebutuhan orang lain tanpa menghakimi atau menyalahkan. Dengan mendengarkan dengan empati, kita bisa membangun kepercayaan, mengurangi ketegangan, dan mencari titik temu.
Mengungkapkan perasaan dan kebutuhan secara asertif adalah cara yang ketiga. Selain mendengarkan, kita juga perlu mengungkapkan perasaan dan kebutuhan kita secara asertif. Artinya, kita menyampaikan apa yang kita rasakan dan inginkan tanpa menyerang atau mengecilkan orang lain. Dengan mengungkapkan perasaan dan kebutuhan secara asertif, kita bisa menunjukkan rasa hormat, menghindari kesalahpahaman, dan menegosiasikan solusi.
Keempat adalah mencari bantuan dari pihak ketiga jika perlu. Kadang-kadang, konflik yang terjadi terlalu rumit atau sensitif untuk diselesaikan sendiri. Dalam hal ini, kita bisa mencari bantuan dari pihak ketiga yang netral, kompeten, dan dapat dipercaya. Pihak ketiga bisa berupa mediator, fasilitator, konselor, atau orang yang dihormati oleh kedua belah pihak. Pihak ketiga bisa membantu memfasilitasi dialog, memberikan saran, atau memberikan keputusan.
Cara terakhir adalah memilih strategi penyelesaian konflik yang sesuai. Ada beberapa strategi penyelesaian konflik yang bisa digunakan, tergantung pada tingkat pentingnya tujuan dan hubungan kita dengan orang lain. Strategi penyelesaian konflik problem-solving negotiations, smoothing, forcing, compromising, dan withdrawing adalah lima pendekatan yang berbeda dalam menangani konflik.
Berikut adalah penjelasan lebih detail tentang masing-masing strategi. Yang pertama Problem-Solving Negotiations. Strategi ini adalah strategi yang paling kooperatif dan konstruktif, yang melibatkan usaha bersama untuk mencari solusi yang saling menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat. Strategi ini membutuhkan komunikasi yang terbuka, jujur, dan empatik; pemahaman yang mendalam tentang kepentingan dan kebutuhan masing-masing pihak; dan kreativitas dalam mencari alternatif solusi. Strategi ini cocok digunakan ketika tujuan dan hubungan kita dengan pihak lain sama-sama penting, dan ketika ada kemungkinan untuk mencapai hasil yang optimal.
Strategi yang kedua adalah Smoothing. Strategi ini adalah strategi yang kooperatif tapi kurang efektif, yang melibatkan usaha untuk menekankan kesamaan dan mengabaikan perbedaan antara pihak yang berselisih. Strategi ini bertujuan untuk menjaga atau memperbaiki hubungan dengan pihak lain, dengan mengorbankan tujuan kita sendiri. Strategi ini cocok digunakan ketika hubungan kita dengan pihak lain lebih penting daripada tujuan kita, dan ketika konflik yang terjadi bersifat sementara atau tidak signifikan.
Strategi ketiga adalah Forcing. Strategi ini adalah strategi yang tidak kooperatif dan agresif, yang melibatkan usaha untuk memaksakan kehendak kita kepada pihak lain. Strategi ini bertujuan untuk mencapai tujuan kita dengan cara apapun, tanpa memperhatikan hubungan atau kepentingan pihak lain. Strategi ini cocok digunakan ketika tujuan kita sangat penting dan mendesak, dan ketika kita memiliki kekuasaan atau otoritas yang lebih besar daripada pihak lain.
Strategi keempat adalah Compromising. Strategi ini adalah strategi yang moderat dan pragmatis, yang melibatkan usaha untuk mencari titik tengah atau kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak yang terlibat. Strategi ini membutuhkan konsesi atau pengorbanan dari masing-masing pihak, sehingga tidak ada yang merasa benar-benar puas atau tidak puas. Strategi ini cocok digunakan ketika tujuan dan hubungan kita dengan pihak lain sama-sama penting, tetapi tidak ada solusi yang saling menguntungkan atau waktu yang cukup untuk bernegosiasi.
Strategi yang terakhir adalah Withdrawing. Strategi ini adalah strategi yang tidak kooperatif dan pasif, yang melibatkan usaha untuk menghindari atau mengakhiri konflik tanpa mencari solusi. Strategi ini bertujuan untuk menghindari konfrontasi atau eskalasi konflik, dengan mengorbankan tujuan dan hubungan kita dengan pihak lain. Strategi ini cocok digunakan ketika tujuan dan hubungan kita dengan pihak lain sama-sama tidak penting, atau ketika konflik yang terjadi tidak dapat diselesaikan atau berbahaya.
Konflik di sekolah adalah hal yang wajar dan tidak bisa dihindari. Namun, dengan cara-cara di atas, kita bisa menangani konflik di sekolah secara positif dan produktif. Dengan demikian, kita bisa menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif, harmonis, dan berkualitas.
Penulis : Ardan Sirodjuddin, Kepala SMKN 10 Semarang dan Penulis Buku Membangun Sekolah Biasa Menjadi Luar Biasa.
Sangat bagus Pak
Hebat dan.menginspirasi
Inspiratif
Semoga SMKN 10 Semarang.dijauhkan dari segala bentuk konflik. Semoga sukses dan Jaya SMKN 10.
Trimakasih artikelnya pak Ardan. Terberkati dengan kata : Mendengar dengan empati .
Dimanapun, kapanpun, dan dengan siapapun, konflik tidak dapat dihindari, tetapi konflik harus diselesaikan. Konflik mampu mengembangkan potensi diri, saat dihadapi dengan sikap dewasa.
Terima kasih, atas inspirasinya, Pak Ardan.
Beri Komentar