Etnopedagogi adalah perwujudan pembelajaran yang bertujuan guna menumbuhkembangkan nilai-nilai kearifan lokal. Sebagai pendekatan, etnopedagogi di sekolah perlu diimplementasikan dengan strategi serta media pembelajaran yang inovatif yang bisa menarik atensi Peserta Didik guna menguasai serta mengaplikasikan kearifan lokal. Menurut Alwasilan dkk. (2009), kearifan daerah adalah kemampuan yang barangkali perlu dimaknai ulang supaya dapat menanggapi tantangan zaman secara fleksibel. Etnopedagogi mempunyai ciri- ciri: (1) bersumber pada pengalaman, (2) sudah diuji secara empiris selama bertahun-tahun, (3) bisa disesuaikan dengan budaya modern, (4) melekat dalam kehidupan individu serta institusional, (5) rata-rata dilakukan oleh pribadi serta kelompok, (6) bertabiat dinamis, serta (7) terpaut dengan sistem keyakinan.
Konsep etnopedagogi layak jadi pertimbangan dalam upaya mengubah arah penerapan pendidikan Indonesia. Di sisi lain, keragaman karakteristik penduduk Indonesia dengan keragaman suku, bahasa, seni, budaya serta adat menggambarkan kemampuan luar biasa yang bisa digunakan sebagai fasilitas untuk mensukseskan seluruh proses pendidikan. Akan tetapi, bersumber pada ciri serta kemungkinan kearifan lokal (budaya), pelaksanaan etnopedagogi dalam pendidikan tidak berdiri sendiri serta sterill terhadap pengaruh budaya modern. Akan tetapi, disisi lain budaya daerah tradisional serta budaya dunia modern senantiasa berhubungan, terpaut serta tidak terhindarkan untuk bercampur. Oleh sebab itu, pelaksanaan etnopedagogi dalam pendidikan yang sangat dipengaruhi oleh kearifan lokal harus senantiasa memperhatikan keberadaan budaya global supaya proses pendidikan bisa dilaksanakan secara komprehensif guna mencapai hasil pembelajaran yang maksimal.
Etnopedagogi dalam aplikasi pendidikan menekankan tentang bernilainya suatu hubungan, terutama hubungan emosional antara pendidik dengan Peserta Didik. Hubungan emosional seyogyanya bersifat natural dan tidak dibentuk secara artifisial. Hal ini mengakibatkan pedagogi meraih dinamikanya, sebab konteks pedagogi mempengaruhi budaya ataupun kebalikannya budaya mempengaruhi pedagogik, yakni membangun peradaban manusia yang berbudaya lewat peradaban. Dalam konteks yang lebih spesifik, etnopedagogi menekankan pada pendidikan yang senantiasa memperhatikan nilai-nilai budaya lokal dengan memperhitungkan aspek budaya global. Lewat metode ini, etnopedagogi perlu menciptakan ruhnya guna meraih tujuan pendidikan. Oleh sebab itu, etnopedagogi bisa berperan dalam pendidikan berbasis nilai-nilai budaya pembelajaran dalam konteks “mengajar sebagai kegiatan budaya”. Etnopedagogi, di sisi lain juga menyokong Peserta Didik yang mempunyai kemampuan, terutama kecerdasan budaya, guna meraih tujuan belajarnya.
Berfokus pada nilai kearifan lokal (local wisdom), mencakup penjabaran dari unsur, karakteristik serta watak nilai kearifan lokal, diharapkan dapat menjadi media guna meraih tujuan pendidikan sehingga bisa digunakan sebagai landasan sosial budaya untuk kepentingan pendidikan nasional. Pada dasarnya etnopedagogi memiliki tujuan sebagai berikut: (i) menggali nilai serta pengalaman paling tinggi dalam penyelenggaraan pendidikan berbasis budaya lokal; (ii) sebagai landasan sosial budaya pembelajaran nasional; serta (iii) penjabaran dari sistem perilaku berpola sebagai konteks sosial budaya pendidikan nasional. Pengembangan lebih lanjut pendidikan dari perspektif etnopedagogi tidak akan mengganti struktur serta program yang ada, namun akan menuju pada pembaruan penerapan pendidikan yang kurang maksimal dalam pelaksanaannya. Oleh sebab itu, esensi pembaharuan dalam etnopedagogi lebih menekankan pada pendidikan budaya serta pendidikan yang berbudaya.
Sebagai teori belajar, konstruktivisme menegaskan bahwa seseorang belajar melalui pembangunan pengetahuan aktif daripada hanya menerima data (Hoban, 1997). Tidak hanya itu, menurut Fung (2002), “Konstruktivisme bukanlah metode pengajaran, melainkan menyediakan kerangka kerja untuk merancang proses belajar-mengajar di kelas yang nyata, kompleks, selalu berubah dan tidak dapat diprediksi di mana banyak faktor-individu, sosial dan budaya-berinteraksi”. Dari sudut pandang pernyataan ini, aktivitas belajar merupakan interaksi yang terintegrasi antara pribadi, masyarakat serta budaya. Dalam perihal ini, konstruktivisme mendorong pribadi Peserta Didik untuk membangun pengetahuan tentang subjek studi bersumber pada pengalaman serta pengetahuan sebelumnya. Dengan kata lain, proses belajar adalah aktivitas (sosial serta) budaya.
Tidak hanya itu, penting untuk dicatat bahwa seluruh pendidik wajib senantiasa berupaya untuk menyediakan lingkungan belajar yang memenuhi kebutuhan tiap Peserta Didik. Menurut Piaget (dalam McLeod, 2009), Peserta Didik meningkatkan konsep belajar lewat interaksi dengan lingkungan belajar sebagai media budaya yang diciptakan oleh kerja sama sosial antara Peserta Didik dengan lingkungan belajarnya. Hal ini menegaskan jika terdapat keterkaitan antara interaksi antara aspek sosial, pembelajaran serta budaya sebagai dasar untuk mendapatkan pengetahuan serta keahlian lewat proses pembelajaran. Oleh sebab itu, tidak berlebihan bila Crawford serta Adler (1996) menyatakan statement bahwa, “Ada hubungan antara orang-orang dan konteks budaya di mana mereka bertindak dan berinteraksi dalam pengalaman bersama”. Dari sini, pendidikan, atau lebih tepatnya aktivitas belajar, sesungguhnya ialah aktivitas budaya yang membagi pengalaman serta pengetahuan yang dipunyai seorang Peserta Didik lebih dahulu dengan siswa lain serta mengaitkannya dengan pengetahuan yang dipelajarinya.
“SMK Negeri 10 Semarang, dari Semarang untuk Indonesia”
Penulis: Khamid, M.Pd., Guru PPG Prajabatan Mapel Fisika
Editor: Tim Humas
Wisdome perlu ada penguatan disaat kemajuan bidang Teknologi.
Pemanfaatan teknologi untuk pendukung hasil akhir bisa digabungkan.
Contoh disaat suatu proses bisa dilakukan, jadikanlah media rekam atau streaming live, musik gamelan.
Bagus Pak Khamid uraiannya, cukup komprehensif. Hanya perlu disertai contoh penerapannya pada perangkat pembelajaran
Beri Komentar