Pembelajaran Matematika di SMKN 10 Semarang diberikan sejak kelas X sampai dengan XII. Walaupun pelajaran matematika menjadi pelajaran pokok yang harus dikuasai siswa, kenyataannya siswa masih menjadikan matematika sebagai momok pelajaran yang tidak mereka sukai, karena pandangan mereka bahwa matematika merupakan ilmu yang abstrak, teoritis, penuh dengan lambang-lambang dan rumus-rumus yang sulit dan membingungkan.
Oleh karena itu, mengakibatkan sikap siswa akan acuh tak acuh terhadap pelajaran matematika, enggan mempelajari dan kesulitan dalam mengerjakan soal-soal latihan kemudian timbul rasa malas sehingga dapat berdampak terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika.
Berdasarkan pengalaman mengajar matematika di SMKN 10 Semarang masih ada siswa yang tidak memperhatikan guru yang sedang menjelaskan, masih ada siswa yang acuh tak acuh dengan materi yang disampaikan, dan siswa tidak ada yang mau bertanya terhadap materi yang diajarkan. Ini tentu kondisi yang tidak ideal dalam pembelajaran.
Pada masalah di atas dibutuhkan suatu perhatian khusus dari guru dengan cara penggunaan model pembelajaran yang bervariasi sehingga siswa tidak merasa bosan ketika pembelajaran berlangsung. Pertiwi (2016) mengungkapkan bahwa pada saat pembelajaran berlangsung, guru sesekali berkeliling untuk melihat pekerjaan siswa dan bertanya kepada siswa tentang soal yang diberikan. Namun, sebagian besar siswa cenderung diam saat ditanya oleh guru dan menjawab sudah paham jika guru menanyakan paham atau tidaknya dengan materi yang dijelaskan oleh guru.
Dalam pembelajaran langsung komunikasi yang dilakukan hanya satu arah, yakni di mana siswa hanya mendengarkan dan memperhatikan guru serta siswa tidak berperan dalam proses pembelajaran sehingga siswa kurang kreatif. Siswa hanya diberikan latihan soal yang ada di buku modul sehingga terkesan pembelajaran sangat monoton sehingga siswa akan merasa bosan dan tidak berminat untuk mengerjakan latihan soal tersebut. Hal ini berarti model pembelajaran yang digunakan belum bervariasi dan masih monoton dengan model pembelajaran konvensional.
Menurut Suprijono (2009) banyak sekali model pembelajaran kooperatif yang dapat digunakan oleh guru, salah satunya adalah model kooperatif tipe Jigsaw. Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dianggap sangat cocok diterapkan dalam pendidikan di Indonesia karena sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai gotong-royong.
Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif di mana pembelajaran melalui penggunaan kelompok kecil siswa yang bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran dan mendapatkan pengalaman belajar yang maksimal, baik pengalaman individu maupun pengalaman kelompok. Menurut Handayani & Sujadi (2014) di mana tipe Jigsaw dinilai bisa mengonstruksi pengetahuan siswa karena siswa harus saling bekerja sama dan berdiskusi tentang materi yang disajikan serta dengan sikap ilmiah diharapkan hasil belajar matematika menjadi lebih baik. Pada pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ini setiap siswa menjadi anggota dari 2 kelompok, yaitu anggota kelompok asal dan anggota kelompok ahli. Dalam pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw terdapat 3 karakteristik yaitu: Kelompok kecil, Belajar bermain, dan Pengalaman belajar.
Hal ini disebabkan karena model pembelajaran Jigsaw dapat mengaktifkan siswa sehingga suasana kelas menjadi hidup dan proses belajar mengajar menjadi lebih kondusif dan efektif. Hal tersebut juga senada dengan hasil penelitian dari Huda & Purnami (2018) yang mengungkapkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw lebih efektif terhadap perbedaan hasil belajar matematika siswa. Proses belajar mengajar dikatakan lebih kondusif, efektif dan suasana kelas menjadi hidup karena dengan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ini siswa menjadi tertarik dengan sub bab yang dipelajari.
Kunci dari pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw di sini adalah setiap siswa harus memiliki tanggung jawab dan kerja sama yang positif dan saling ketergantungan untuk mendapatkan informasi dan memecahkan masalah yang diberikan. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa penggunaan model pembelajaran Jigsaw lebih berpengaruh terhadap hasil belajar matematika. Penggunaan model pembelajaran Jigsaw lebih efektif daripada model pembelajaran ceramah. Oleh karena itu, model pembelajaran Jigsaw perlu diterapkan dalam pembelajaran matematika siswa supaya hasil belajar dapat maksimal.
Penulis : Nyaminah, S.Pd., Guru Matematika
Beri Komentar