Dua kali pegang sekolah kategori “merah” memberi saya banyak pelajaran. Yang satu sudah bisa diubah jadi hijau, dan yang satunya akan saya buat jadi hijau.
Nama sekolah yang pertama adalah SMKN 1 Tuntang dan yang kedua adalah SMKN 10 Semarang. Awal Januari 2018 saya dipercaya menjabat Kepala SMKN 1 Tuntang. Sebuah sekolah yang nyaris tutup karena dianggap tidak layak melaksanakan kegiatan belajar mengajar.
Pertama datang sudah tersaji masalah yang luar biasa. Lahan tidak punya, ruang kelas kurang, ruang praktik tidak ada, alat praktik nyaris tidak ada, toilet hanya satu dan dipakai bareng oleh siswa, guru dan kepala sekolah. Ruang guru dan ruang kepala sekolah jauh dari layak. Akses jalan menuju sekolah tidak ada dan harus melewati SMPN 2 Tuntang.
Siswa yang ada hanya 100 an siswa dan kebanyakan anak yang tidak diterima di sekolah lain terpaksa tetap sekolah di SMKN 1 Tuntang. Nama sekolah ini nyaris tidak terdengar.
Kedatangan saya di sekolah itu kurang diterima oleh manajemen lama. Gesekan demi gesekan sering terjadi karena kepentingan yang terusik dari beberapa orang yang mengelola sekolah. Puncaknya ketika PPDB saya didatangi oleh orang-orang yang ingin memasukkan anak-anak yang tidak diterima di sekolah lain menjadi siswa SMKN 1 Tuntang. Karena tidak sesuai dengan regulasi, saya menolak permintaan itu. Akibatnya adalah saya dimarahi dan “diusir” dari sekolah.
Saat itu saya melawan dengan mengganti komite sekolah lama dengan komite baru. Saya jaga jarak dengan orang-orang yang dulu mengelola sekolah. Saya memutuskan untuk jalan sendiri dengan manajemen yang baru. Karena saya berkeyakinan pasti bisa menjadikan SMKN 1 Tuntang lebih baik.
Langkah yang saya ambil ternyata benar. Selama empat tahun memimpin dengan dukungan penuh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah SMKN 1 Tuntang berubah dari kategori merah menjadi hijau. Bergerak dari Rintisan Sekolah Kategori Mandiri menjadi Sekolah Standar Nasional Plus.
Sarana prasarana yang dulu minimalis sekarang sudah terpenuhi. Jumlah murid bertambah signifikan dan setiap PPDB laris manis jadi incaran anak lulusan SMP. Terakhir akses jalan sudah bisa di bangun sehingga wajah sekolah sudah bisa dilihat dari jalan raya. Sekarang siapa yang belum mengenal SMKN 1 Tuntang?
Dari SMKN 1 Tuntang saya diberi tugas baru menjadi Kepala SMKN 10 Semarang. Sebuah SMK di Kota Semarang dengan grade paling rendah dan termasuk kategori merah. Ini adalah tantangan saya yang kedua mengelola sekolah dengan permasalahan yang luar biasa.
Hampir setahun saya mengawal SMKN 10 Semarang, hanya kurang satu bulan “kejadian” yang saya khawatirkan dari awal menjabat benar-benar terjadi.
Skala prioritas mengawal sekolah ini adalah menghilangkan “stigma” negatif yang sudah muncul berpuluh-puluh tahun. Segala upaya diprogramkan untuk mengangkat citra positif sekolah. Kebersamaan warga sekolah dibangun untuk membuat sekolah ini “normal”. Maka tagline yang didengungkan adalah Bergerak Bersama Menghebatkan Sekolah.
Tapi upaya yang luar biasa dari warga sekolah seakan sia-sia dalam waktu hanya sekejap. Ulah segelintir oknum siswa membuat nama baik sekolah jatuh pada titik paling bawah. Dari 1520 siswa, hanya 2,5% saja yang bikin ulah. 97,5% siswa kami adalah anak baik-baik dan berprestasi. Segala umpatan, caci maki, dan bahasa yang tidak sopan menghujam ke sekolah. Sampai-sampai ada kalimat yang sangat menohok bubarkan saja sekolah ini daripada bikin anak-anak yang brutal.
Selaku pimpinan saya tidak ingin membela diri atas kasus ini. Saya terima “vonis” dari masyarakat atas apa yang sudah terjadi. Tapi kalau ditutup sekolah ini apa tidak eman-eman.
Bicara tawuran bukan hanya sekali ini terjadi di Kota Semarang. Sudah berpuluh-puluh kali dalam kurun waktu yang panjang. Pertanyaan saya apa tidak bisa dihentikan?
Pasca kejadian Kami lakukan kajian mendalam. Baik dari sisi internal maupun eksternal. Apa hasil kajian dan bagaimana langkah ke depan untuk berusaha menyelesaikan masalah ini akan saya tulis di bagian kedua catatan ini.
Penulis : Ardan Sirodjuddin, Kepala SMKN 10 Semarang.
Beri Komentar