Pendidikan Guru Penggerak adalah program pendidikan kepemimpinan bagi guru untuk menjadi pemimpin pembelajaran. Penulis merupakan Calon Guru Penggerak (CGP) Angkatan 11 dari SMK Negeri 10 Semarang, mengampu mata pelajaran produktif konsentrasi keahlian Teknik Kendaraan Ringan (TKR). Dengan mengikuti Program Pendidikan Guru Penggerak, penulis mendapatkan banyak sekali ilmu pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman yang berharga bagaimana menjadi guru yang mampu melakukan perubahan positif dengan memberikan layanan pendidikan yang berpihak pada murid.
Berikut adalah pemahaman yang akan penulis sampaikan mengenai Paket Modul 1 tentang Paradigma dan Visi Guru Penggerak yang telah dipelajari melalui materi dan penugasan di LMS, diskusi dan tanya jawab, serta mengikuti kegiatan lokakarya dan pendampingan individu bersama Fasilitator, Pengajar Praktik, Instruktur, dan rekan CGP lainnya.
KONEKSI MODUL FILOSOFI KHD, NILAI DAN PERAN GURU PENGGERAK, DAN VISI GURU PENGGERAK TERHADAP BUDAYA POSISITF
Sekolah yang memiliki budaya positif dalam proses pembelajaran maupun interaksi antara warga sekolah, menjadi dambaan setiap murid. Sebab, dengan budaya positif yang dilaksanakan bersama-sama oleh seluruh warga sekolah tersebut, dapat menjadi ruang tumbuhkembangnya murid dalam pengembangan diri sesuai potensi yang dimilikinya.
Menyadari keunikan dan beragamnya karakteristik sifat, perilaku, bakat, dan latar belakang yang dimiliki oleh warga sekolah, tidak mudah untuk menciptakan budaya positif di lingkungan sekolah. Sehingga, diperlukan motivasi dan komitmen bersama dari seluruh warga sekolah untuk mewujudkan budaya positif melalui nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan di sekolah yang berpihak pada murid agar dapat berkembang menjadi pribadi yang kritis, penuh hormat dan bertanggung jawab.
Guru, merupakan salah satu warga sekolah yang memiliki peran penting dalam mewujudkan budaya positif baik dalam memberikan tuntunan kepada murid, maupun membangun kolaborasi bersama warga sekolah lain serta orangtua untuk mendukung terciptanya budaya positif yang terus bertumbuh dari waktu ke waktu.
Guru, sebagai pemimpin pemelajaran akan mampu melakukan perubahan dalam proses budaya positif di lingkungan sekolah, melalui pemahaman yang mendalam tentang filosofi pendidikan nasional yang ditanamkan oleh Ki Hajar Dewantara (KHD), pengembangan nilai-nilai dan peran guru penggerak, serta visi guru penggerak.
Filosofis Pendidikan Nasional Menurut KHD. Diawali dengan pemahaman filosofis seorang guru bangsa, Bapak Ki Hajar Dewantara (KHD), pondasi pendidikan nasional telah diletakkan sebagai dasar berpijak bagi guru dalam menyelenggarakan pendidikan yang berpihak pada murid. Beberapa filosofis KHD tersebut, yaitu: Pertama, perlu memahami tentang azas pendidikan (Dasar-dasar Pendidikan, 1936) yang memberi tuntunan terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki anak-anak agar mereka mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai seorang manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Kedua, berdasarkan filosofi tersebut, setiap guru Indonesia mampu berperan sebagai pamong yang memahami tumbuh kembang murid yang memiliki karakteristik yang berbeda dan unik. Bagi murid, sekolah bagai menjadi tempat persemaian benih-benih serta ruang berlatih dan bertumbuhnya nilai-nilai kebudayaan dan kemanusiaan yang dapat diteruskan atau diwariskan. Ketiga, perubahan alam dan zaman tidak dapat terelakkan, bahkan dalam dunia pendidikan pun mengalami perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju. Kemauan guru untuk belajar dan berkembang membuka ruang kepada murid untuk bertumbuh, berkembang, dan berprestasi seiiring dengan kodrat alam dan zaman nya. Keempat, sekolah adalah mitra keluarga yang memiliki peran yang paling penting dalam tumbuh kembang budi pekerti murid. Mengingat sekolah dapat menjadi mitra bagi keluarga untuk membimbing dan membina murid, maka dibutuhkan dukungan dan kerjasama yang baik dan berkelanjutan dalam menuntun anak-anak memiliki karakter dan kompetensi yang unggul menuju kodratnya yang mulia.
Nilai-Nilai dan Peran Guru Penggerak. Partisipasi seorang guru dalam memberikan layanan pendidikan yang berpihak pada murid sangat penting. Oleh karenanya, guru perlu mengidentifikasi nilai-nilai diri sendiri yang selama ini melekat dalam pribadinya, serta mampu melaksanakan peran dirinya di dalam lingkungan sekolah. Berikut adalah beberapa aspek penting yang perlu dipahami guru dalam mengimplementasikan nilai dan perannya, yaitu: Pertama, memahami cara kerja otak. Bahwa setiap murid memiliki otak luhur, dengan kelebihan dan kekurangannya masig-masing, serta untuk saling melengkapi. Kedua, dalam memenuhi kebutuhannya dalam proses pendidikan, setiap murid memiliki kebutuhan dasar yang mempengaruhinya, yaitu: (1) kebutuhan untuk bertahan hidup (survival), (2) kebutuhan untuk diterima (love and belonging), (3) kebebasan (freedom), (4) kesenangan (fun), dan (5) kekuasaan/penguasaan (power). KHD mengingatkan bahwa kebutuhan dasar tersebut perlu dipenuhi sebagai manusia merdeka namun tetap tertib dan dapat mengatur hubungan dengan kemerdekaan orang lain. Ketiga, pendidik perlu fokus dalam menyediakan suasana belajar dan proses pembelajaran yang memungkinkan anak menguatkan dan menumbuh-kembangkan motivasi intrinsik mereka, yang dapat merasa kompeten (mampu, dapat, cakap), merasa saling-terhubung (kebutuhan sosial yang diusahakan oleh individu untuk membangun hubungan dengan sesamanya), dan merasa otonom (mandiri, merdeka). Keempat, pendidikan Indonesia memiliki acuan Profil Pelajar Pancasila sebagai gambaran, proyeksi, dan harapan yang bangsa kita upayakan agar mewujud pada murid Indonesia di masa depannya kelak, yang: (1) Beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak mulia; (2) Mandiri; (3) Bergotong-royong; (4) Berkebinekaan global; (5) Bernalar kritis; (6) Kreatif. Kelima, tumbuhnya nilai-nilai pada diri guru sebagai penggerak perubahan yang bertanggung jawab dan beretika, meliputi: (1) berpihak pada murid, (2) reflektif, (3) mandiri, (4) kolaboratif, serta (5) inovatif. Keenam, memahami konsep lingkaran pengaruh yang dapat menjangkau untuk menggerakkan rekan sejawat dan warga sekolah secara efektif dalam membawakan perubahan. Ketujuh, memahami karakter setiap warga sekolah bagai identitas gunung es, dimana ada karakter yang nampak dan tidak nampak. Dengan mampu memahami identitas tersebut, guru memiliki kesempatan untuk menjadi teladan bagi muridnya dengan kesadaran. Sehingga, guru dapat membantu murid memahami nilai-nilai kebaikan dalam diri mereka sendiri, kemudian mereka mempercayainya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari siapa mereka. Kedelapan, sebagai pemimpin perubahan pemelajaran, guru penggerak diharapkan dapat berperan perubahan dalam ekosistem pendidikannya, yang memiliki keterampilan ataupun kompetensi yang sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan, yaitu: 1) mengembangkan diri dan orang lain, 2) memimpin pembelajaran, 3) memimpin manajemen sekolah, serta 4) memimpin pengembangan sekolah.
Visi Guru Penggerak. Filosofis KHD tentang pendidikan yang menuntun murid serta pengembangan nilai-nilai dan peran guru penggerak di sekolah menjadi sumber inspirasi bagi guru yang mampu merumuskan visi pribadi mengenai murid dan sekolah yang menumbuh-kembangkan Profil Pelajar Pancasila. Untuk mencapai tujuan tersebut, beberapa tahapan yang penting bagi guru sebagai pemimpin perubahan positif dan mengelola perubahan positif.
Sebagai pemimpin perubahan positif, guru mampu untuk berpikir strategis, yaitu dengan melakukan suatu perubahan yang positif dan konstruktif di lingkungan sekolah dari kebiasaan yang sudah lama berlangsung tidak mudah, namun bukan tidak mungkin, sehingga membutuhkan waktu dan dilakukan secara bertahap. Bagi para pemimpin di sekolah, membuat suatu perubahan memerlukan visi yang mendasar dan upaya yang konsisten. Sedangkan visi yang dimiliki merupakan hasil dari pertimbangan kebutuhan oleh seluruh warga sekolah, sesuai dengan kondisi zaman saat itu. Dengan memahami peran strategisnya masing-masing, seluruh guru bergotong royong dan berkolaborasi meningkatkan kualitas pembelajaran untuk murid. Untuk mewujudkan visi perubahan di sekolah, pemimpin dan segenap guru melakukan pendekatan manajemen perubahan yang kolaboratif dan berbasis kekuatan atau Inkuiri Apresiatif (IA). Pendekatan IA dapat membantu membebaskan potensi inovatif dan kreativitas, yang fokus pada kekuatan yang dimiliki setiap anggota maupun aset organisasi dan menyatukannya untuk menghasilkan kekuatan tertinggi. Menurut Drucker, seorang pemimpin bertugas menyelaraskan kekuatan yang dimiliki organisasi, yaitu dengan mengupayakan agar kelemahan suatu sistem dalam organisasi tidak menjadi penghalang, karena semua aspek dalam organisasi fokus pada penyelarasan kekuatan.
Sebagai pengelola perubahan posisif, guru melakukan proses penyusunan pernyataan prakarsa perubahan dalam bentuk kalimat. Untuk mengawali prakarsa perubahan terlebih dulu dapat memperjelas gambar mental prakarsa perubahan yang ingin kita susun menggunakan metode A-T-A-P. ATAP merupakan akronim dari perpaduan berbagai unsur, yaitu: (1) Aset, yang merupakan kekuatan/aset/modal/potensi sekolah/murid/komunitas yang teridentifikasi dapat membantu meningkatkan kualitas pembelajaran murid; (2) Tantangan, atau keresahan yang perlu dilampaui demi mewujudkan harapan atau mencapai visi; (3) Aksi, yang menjadi kontribusi individu pendidik yang dapat dimanfaatkan untuk mewujudkan harapan atau mencapai visi; (4) Pembelajaran bermakna yang merupakan turunan konkret dari Profil Pelajar Pancasila.
Setelah melakukan analisis awal dalam proses perumusan visi, guru mengidentifikasi hal baik apa yang telah ada di sekolah, mencari cara bagaimana mempertahankan, dan memunculkan strategi untuk mewujudkan perubahan ke arah lebih baik, maka dapat menggunakan tahapan IA, yaitu manajemen B-A-G-J-A. Kekuatan BAGJA pada proses penggalian jawaban pertanyaan dari rasa ingin tahu, kebaikan, dan kebersamaan. Sehingga menjadi pengalaman kolaboratif yang apresiatif dan bermakna bagi peningkatan kualitas belajar murid di sekolah yang akan membawa komunitas sekolah untuk berefleksi, menggali lebih dalam hal-hal yang bermakna, untuk kemudian diinternalisasi dan dijadikan sebagai bahan perbaikan dalam menjalankan perubahan demi perubahan. BAGJA merupakan akronim dari perpaduan berbagai unsur, yaitu: (1) Buat pertanyaan, merumuskan pertanyaan sebagai penentu arah penelusuran terkait perubahan yang diinginkan atau diimpikan; (2) Ambil pelajaran, mengumpulkan berbagai pengalaman positif yang telah dicapai di kelas maupun sekolah serta pelajaran apa yang dapat diambil dari hal-hal positif tersebut; (3) Gali mimpi, menyusun narasi tentang kondisi ideal apa yang diimpikan dan diharapkan terjadi di lingkungan pembelajaran; (4) Jabarkan rencana, merumuskan rencana tindakan tentang hal-hal penting apa yang perlu dilakukan untuk mewujudkan visi; (5) Atur eksekusi, memutuskan langkah-langkah yang akan diambil, siapa yang akan terlibat, bagaimana strateginya, dan aksi lainnya demi mewujudkan visi perlahan-lahan.
Melalui ketiga aspek yang dipaparkan tersebut di atas, menjadi pondasi yang kuat bagi guru untuk memulai memimpin proses perubahan positif di lingkungan sekolah dalam keteladanan yang berkolaborasi dengan rekan sejawat, orangtua, bahkan masyarakat, untuk menyelenggarakan pendidikan yang berpihak pada murid.
REFLEKSI MODUL BUDAYA POSITIF
Setelah mempelajari, penugasan, serta berdiskusi dengan Fasilitator, Pengajar Praktik, dan rekan sejawat, banyak sekali refleksi dan pemahaman yang penulis dapatkan untuk merealisasikan budaya positif kepada warga sekolah, khususnya keberpihakan pada murid. Berikut adalah beberapa pengalaman yang penulis alami dalam mengimplementasikan budaya positif di kelas maupun di sekolah.
Eksplorasi konsep dalam menumbuhkan budaya positif yang dapat dilakukan oleh guru, melalui beberapa tahapan, yaitu: (1) Disiplin Positif dan Nilai-nilai Kebajikan Universal; (2) Teori Motivasi, Hukuman dan Penghargaan, Restitusi; (3) Keyakinan Kelas; (4) Kebutuhan Dasar Manusia dan Dunia Berkualitas; serta (5) Restitusi melalui Lima Posisi Kontrol dan Segitiga Restitusi. Berikut adalah penjelasan sederhana untuk memahami eksplorasi konsep tersebut di atas dalam rangka menumbuhkan budaya positif di lingkungan sekolah. Berikut adalah penjabaran singkat mengenai tahapan budaya positif, yaitu:
Pertama, Disiplin Positif dan Nilai-nilai Kebajikan Universal. KHD menyatakan bahwa “dimana ada kemerdekaan, disitulah harus ada disiplin yang kuat. Sungguhpun disiplin itu bersifat ‘self discipline’ yaitu kita sendiri yang mewajibkan kita dengan sekeras-kerasnya, tetapi itu sama saja; sebab jikalau kita tidak cakap melakukan self discipline, wajiblah penguasa lain mendisiplin diri kita. Dan peraturan demikian itulah harus ada di dalam suasana yang merdeka.” (Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka, Cetakan Kelima, 2013, Halaman 470).
Secara umum kata ‘disiplin’ sering dikaitkan dengan tata tertib, teratur, dan kepatuhan pada peraturan. Bahkan bagi seorang murid, kata ‘disiplin’ sering dihubungkan dengan hukuman, sehingga cenderung dengan ketidaknyamanan. Belajar tentang disiplin positif di sekolah tidak harus dengan memberi hukuman, justru itu adalah salah satu alternatif terakhir dan kalau perlu tidak digunakan sama sekali.
Sedangkan nilai-nilai kebajikan universal yang berlaku di tengah masyarakat, khususnya di lingkungan sekolah sangat beragam. Setidaknya, terdapat enam institusi/organisasi yang merumuskan nilai kebajikan yang dapat menjadi rujukan dalam menumbuhkan budaya positif di lingkungan sekolah, diantaranya IBO Primary Years Program (PYP), Sembilan Pilar Karakter (Indonesian Heritage Foundation/IHF), Petunjuk Seumur Hidup dan Keterampilan Hidup (Lifelong Guidelines and Life Skills), The Seven Essential Virtues (dari Building Moral Intelligence, Michele Borba), The Virtues Project (Proyek Nilai-nilai Kebajikan). Salah satu nilai kebajikan yang disepakati bersama di dalam sistem pendidikan nasional yaitu bersumber dari Profil Pelajar Pancasila, yang terdiri dari enam kebajikan, yaitu: (1) Beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan Berakhlak Mulia; (2) Mandiri; (3) Bernalar Kritis; (4) Berkebinekaan Global; (5) Bergotong royong; dan (6) Kreatif.
Kedua, Teori Motivasi, Hukuman dan Penghargaan, Restitusi. Perilaku murid di sekolah, seringkali digerakkan oleh motivasi yang ada di dalam dirinya. Menurut Diane Gossen (dalam bukunya Restructuring School Discipline), ketaatan dan kepatuhan murid dalam melakukan tata tertib dan peraturan sekolah dapat digerakkan oleh tiga motivasi perilaku manusia, yaitu: (1) untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman; (2) untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain; atau (3) untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Tujuan dari disiplin positif adalah pada poin 3, dimana ketika murid memiliki motivasi tersebut, mereka telah memiliki motivasi intrinsik yang berdampak jangka panjang, motivasi yang tidak akan terpengaruh pada adanya hukuman atau hadiah. Mereka akan tetap berperilaku baik dan berlandaskan nilai-nilai kebajikan karena mereka ingin menjadi orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang mereka hargai.
Dalam menjalankan peraturan ataupun keyakinan kelas/sekolah, bilamana ada suatu pelanggaran yang dilakukan murid, sebagai pemimpin pemelajaran dan perubahan di lingkungan sekolah, kita perlu meninjau ulang tindakan penegakan peraturan atau keyakinan kelas/sekolah kita selama ini, apakah berbentuk hukuman atau konsekuensi. Selain hukuman dan konsekuensi, terdapat restitusi merupakan upaya mewujudkan program disiplin positif di lingkungan sekolah, yaitu restitusi.
Hukuman, dalam dunia pendidikan merupakan tindakan sebagai bentuk tanggapan atas perbuatan siswa yang melanggar aturan atau norma, dengan tujuan utama untuk menghentikan perilaku negatif siswa dan memberikan efek jera pada murid.
Sedangkan konsekuensi, dalam pendidikan bersifat logis dan berhubungan langsung dengan tindakan murid, sehingga memahami hubungan sebab-akibat antara tindakan mereka sendiri dan akibat yang dihasilkan.
Sementara, sebagai solusi untuk menumbuhkan budaya positif di sekolah apabila terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh murid, maka restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004). Restitusi juga merupakan proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah mereka, dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996).
Ketiga, Keyakinan Kelas. Keyakinan kelas merupakan disiplin posistif yang bisa diterapkan dalam membangun budaya positif di sekolah, yang dimulai dari lingkup yang lebih kecil terlebih dahulu. Keyakinan kelas adalah hasil kesepakatan antara guru dan murid dengan penuh kesadaran, maka akan berpengaruh pada perubahan tingkah laku murid dan mengembangkan disiplin dirinya sendiri, karena murid akan belajar mematuhi keyakinan kelas yang telah dibuat sendiri. Disiplin dan nilai-nilai kebajikan universal, dapat menjadi landasan bagi guru dan murid dalam membuat suatu keyakinan kelas atau sekolah.
Untuk merumuskan keyakinan kelas, diperlukan pemahaman tentang keyakinan kelas itu sendiri, yaitu: (1) Keyakinan kelas bersifat lebih ‘abstrak’ daripada peraturan, yang lebih rinci dan konkrit; (2) Keyakinan kelas berupa pernyataan-pernyataan universal; (3) Pernyataan keyakinan kelas senantiasa dibuat dalam bentuk positif; (4) Keyakinan kelas hendaknya tidak terlalu banyak, sehingga mudah diingat dan dipahami oleh semua warga kelas; (5) Keyakinan kelas sebaiknya sesuatu yang dapat diterapkan di lingkungan tersebut; (6) Semua warga kelas hendaknya ikut berkontribusi dalam pembuatan keyakinan kelas lewat kegiatan curah pendapat; dan (7) Bersedia meninjau kembali keyakinan kelas dari waktu ke waktu.
Keempat, Kebutuhan Dasar Manusia dan Dunia Berkualitas. Menumbuhkan budaya positif di lingkungan sekolah tidak terlepas dari kebutuhan dasar warga sekolah yang senantiasa berusaha untuk memenuhi kebutuhannya dengan berbagai cara. Bila mereka tidak bisa mendapatkan kebutuhannya dengan cara yang positif, mereka bisa melanggar peraturan atau melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kebajikan. Kebutuhan dasar manusia terdiri dari: (1) Bertahan hidup (survival); (2) Kasih sayang dan rasa diterima (love and belonging); (3) Kebebasan (freedom); (4) Kesenangan (fun); dan (5) Penguasaan (power). Contoh: Seorang murid yang tidak begitu berhasil secara akademik mungkin kebutuhannya akan penguasaan tidak terpenuhi di sekolah. Oleh karena itu, mungkin dia akan mencoba untuk memenuhi kebutuhannya akan penguasaan, dengan mencoba mengatur orang lain di lapangan bermain, atau bahkan menyakiti mereka secara fisik. Sebagai guru, kita dapat melibatkannya dalam kegiatan yang memberi peluang murid tersebut membuat pencapaian yang berarti.
Glasser menyatakan bahwa kapasitas untuk berubah ada di dalam diri kita. Jika kita dapat mengidentifikasi kebutuhan apa yang mendorong perilaku kita, maka perubahan perilaku positif dapat dimulai dengan mencari solusi untuk memenuhi kebutuhan tertentu dengan cara yang positif.
Dunia berkualitas merupakan suatu dimensi ruang khusus dalam pikiran dan hati manusia. Di dalam dunia berkualitas tersimpan gambaran representasi dari semua yang diinginkan, bisa berisi: orang-orang, tempat, benda, nilai-nilai, kepercayaan, dan apa saja yang terbaik dalam hidup manusia yang membuat mereka merasa bahagia dan terpenuhi kebutuhan dasarnya. Dr. William Glasser menyebutnya, dunia berkualitas semacam album foto sehingga isinya tidak akan terlalu banyak, hanya akan terdiri dari beberapa hal saja yang sangat signifikan dan benar-benar terbaik dalam hidup manusia yang membuat hidup mereka menjadi lebih bermakna. Kebutuhan dasar bersifat lebih umum dan universal, sedangkan dunia berkualitas lebih unik dan personal.
Di dalam lingkungan kelas dan sekolah, murid kita juga mempunyai gambaran dunia berkualitas mereka. Sebagai guru, tentunya kita ingin mereka memasukkan hal-hal yang bermakna dan nilai-nilai kebajikan yang hakiki ke dalam dunia berkualitas mereka. Bila guru dapat membangun interaksi yang memberdayakan dan memerdekakan murid, maka murid akan meletakkan dirinya sendiri sebagai individu yang positif dalam dunia berkualitas karena mereka menghargai nilai-nilai kebajikan.
Kelima, Restitusi melalui Lima Posisi Kontrol dan Segitiga Restitusi. Sebagai pemimpin pemelajaran yang berpihak pada murid, guru memiliki peran sentral terhadap perubahan positif di kelas maupun di lingkungan sekolah. Bahkan, dalam menghadapi murid yang menghadapi permasalahan dengan melakukan pelanggaran, guru tetap berperan untuk menuntun murid untuk memperbaiki kesalahannya dan menjadi pribadi yang positif. Melalui serangkaian riset dan berdasarkan pada teori kontrol Dr. William Glasser, Gossen (dalam bukunya Restitution-Restructuring School Discipline, 1998), berkesimpulan ada 5 posisi kontrol yang diterapkan seorang guru, orangtua ataupun atasan dalam melakukan kontrol, yaitu: (1) Penghukum, yaitu seorang yang bisa menggunakan hukuman fisik maupun verbal, yang senantiasa mengatakan bahwa sekolah memerlukan sistem atau alat yang dapat lebih menekan murid-murid lebih dalam lagi. Dampak yang dihasilkan dari posisi kontrol ini, kemungkinan murid marah dan mendendam atau bersifat agresif; (2) Pembuat Rasa Bersalah, yaitu orang yang bertindak dengan bersuara lebih lembut, menggunakan keheningan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman, bersalah, atau rendah diri. Dampak yang dihasilkan dari kontrol ini, murid akan merasa bersalah, merasa menjadi orang yang gagal dan tidak sanggup membahagiakan orang lain. Kondisi murid yang tertekan seperti inilah yang tiba-tiba bisa meletus amarahnya, dan bisa menyakiti diri sendiri atau orang lain; (3) Teman, yaitu orang yang tidak akan menyakiti murid, namun akan tetap berupaya mengontrol murid melalui persuasi. Posisi teman pada guru bisa negatif ataupun positif. Dampak yang dihasilkan dari posisi kontrol ini, murid akan merasa senang dan akrab dengan guru, termasuk dampak yang positif. Dampak negatifnya, bila murid ada masalah, dia akan tergantung dan merasa bisa mengandalkan guru tersebut untuk membantunya; (4) Pemantau, bertanggung jawab atas perilaku murid yang kita awasi berdasarkan pada peraturan dan konsekuensi. Dampak yang dihasilkan dari posisi kontrol ini, murid memahami konsekuensi yang harus dijalankan karena telah melanggar peraturan sekolah. Pemantau tidak menunjukkan suatu emosi yang berlebihan, menjadi marah atau membuat merasa berbuat salah, namun tetap membuat murid dibuat tidak; dan (5) Manajer, yaitu posisi di mana guru mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri. Guru yang memposisikan sebagai manajer, murid diajak untuk menganalisis kebutuhan dirinya, maupun kebutuhan orang lain. Disini penekanan bukan pada kemampuan membuat konsekuensi, namun dapat berkolaborasi dengan murid bagaimana memperbaiki kesalahan yang ada. Dampak yang dihasilkan dari posisi kontrol ini, dengan bimbingan guru, murid dapat memiliki tanggung jawab dan mencari jalan keluar permasalahannya.
Guru mampu berperan sebagai manajer dalam membimbing murid yang menghadapi masalah, melakukan strategi dengan metode segitiga restitusi. Ketiga tahapan/langkah pada segitiga restitusi tersebut adalah: (1) Menstabilkan Identitas (Stabilize the Identity). Pada tahap langkah ini bertujuan untuk mengubah identitas murid dari orang yang gagal karena melakukan kesalahan menjadi orang yang sukses. Murid yang melanggar peraturan karena sedang mencari perhatian dan mengalami kegagalan. Murid mencoba untuk memenuhi kebutuhan dasarnya namun ada benturan. Kalau kita mengkritik, maka akan tetap membuatnya dalam posisi gagal. Kalau kita ingin murid menjadi reflektif, maka kita harus memberi keyakinan kepada murid; (2) Validasi Tindakan yang Salah (Validate the Mistake). Setiap tindakan murid dilakukan dengan suatu tujuan, yaitu memenuhi kebutuhan dasar. Sebagai manajer, kita harus mampu memahami kebutuhan dasar apa yang mendasari murid melakukan sebuah tindakan, sehingga kita akan bisa menemukan cara-cara paling efektif untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Mungkin tindakan guru dengan memvalidasi sikap yang tidak baik seperti bertentangan dengan aturan yang ada, namun sebetulnya tujuannya untuk menunjukkan bahwa guru memahami alasan di balik tindakan murid, dan menjangkau murid agar bisa lebih terbuka; (3) Menanyakan Keyakinan (Seek the Belief). Teori kontrol menyatakan bahwa kita pada dasarnya termotivasi secara internal. Ketika identitas sukses telah tercapai (langkah 1) dan tingkah laku yang salah telah divalidasi (langkah 2), maka anak akan siap untuk dihubungkan dengan nilai-nilai yang dia percaya, dan berpindah menjadi orang yang dia inginkan, dengan menghubungkan keyakinan murid dengan keyakinan kelas atau sekolah.
Setelah mempelajari Modul 1.4. Budaya Positif, penulis mendapatkan pencerahan dan penguatan dalam menciptakan budaya positif di kelas maupun sekolah. Salah satu aspek membangun budaya positif di kelas atau sekolah adalah menumbuhkan sikap disiplin pada murid. Sebagai guru teknik di sekolah menengah kejuruan, kedisiplinan merupakan salah satu softskill yang sangat penting dimiliki oleh murid agar mampu berkarir, berwirausaha, maupun melanjutkan pendidikan dengan sukses.
Sebelum mempelajari modul ini, dalam membimbing dan membina murid untuk menaati tata tertib dan peraturan yang berlaku di sekolah, penulis lebih banyak bersikap pada posisi kontrol sebagai pemantau. Karena, sesuai dengan tingkat usia, penulis berpikir bahwa murid sudah cukup mampu bersikap dewasa, bahkan saat mereka melakukan pelanggaran terhadap peraturan sekolah. Dengan tetap berpegang pada cara berpikir demikian, saya mengalami beberapa kesulitan saat menghadapi murid yang bermasalah, karena sebagian murid tidak seperti yang saya yakini mengenai kedewasaan.
Setelah mempelajari modul ini, dalam rangka membangun budaya positif di sekolah penting untuk memahami keberpihakan kepada murid, dimana setiap murid memiliki karakter yang unik yang tidak bisa disamaratakan dengan murid lain meskipun memiliki tingkat usia yang sama. Oleh sebab itu, penulis sangat terbantu dengan modul ini yang menjelaskan tentang tahapan membangun budaya positif, posisi kontrol restitusi dan segitiga restitusi.
Perubahan cara berpikir dan tingkah laku penulis sesuai dengan yang disampaikan oleh Hamalik (2008: hlm. 45), bahwa asil belajar adalah sebagai terjadinya perubahan tingkah laku pada diri seseorang yang dapat diamati dan diukur bentuk pengetahuan, sikap dan keterampilan. Perubahan tersebut dapat diartikan sebagai terjadinya peningkatan dan pengembangan yang lebih baik sebelumnya yang tidak tahu menjadi tahu.
Dalam melayani murid, khususnya pada pendidikan sekolah menengah kejuruan, guru sebagai pemimpin pemelajaran memiliki peran penting untuk menuntun murid sesuai dengan keunikan karakternya, dengan memperhatikan latar belakang murid.
Saat menghadapi murid yang menghadapi masalah, tidak cukup kita mengingatkan kembali akan peraturan yang berlaku dan menyampaikan konsekuensi yang akan diterima murid. Melainkan, kita juga perlu mengetahui latar belakang murid agar pembinaan yang diberikan lebih tepat sesuai dengan kebutuhan murid.
Pengalaman penulis dalam menerapkan budaya positif di kelas pada saat pembelajaran mata pelajaran pilihan dengan materi kewirausahaan. Sebelum mengawali pembelajaran, guru membuka diskusi dengan murid-murid untuk membuat peraturan mengikuti pelajaran, khususnya materi kewirausahaan.
Melalui materi kewirusahaan ini, guru memiliki tujuan untuk melatih murid memiliki keterampilan yang kreatif, inovatif, dan mandiri. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, langka awal yang guru lakukan yaitu mengajak murid membuat peraturan yang dibuat sendiri oleh murid. Mulai dari tahapan membuat peraturan hingga memahami nilai kebajikan yang didapatkan oleh murid, berdampak pada sikap seluruh murid yang memiliki komitmen untuk menaatinya sesuai dengan kemampuan dan kesediaannya sendiri, karena murid merasakan manfaat dari nilai kebajikan yang ditanamkan.
Menumbuhkan budaya positif memerlukan proses waktu dan pemahaman murid yang berkelanjutan. Apabila terdapat murid yang melakukan kesalahan atau pelanggaran terhadap peraturan kelas, guru melakukan tahapan restitusi yang telah dipelajari dan dipahami dari modul ini. Hasil dari tahapan restitusi untuk mewujudkan budaya positif di kelas, murid yang melakukan pelanggaran mampu memperbaiki diri serta mampu kembali pada kelompok kewirausahaan yang telah ditetapkan dengan kepercayaan diri yang baik.
Mengawali suatu perubahan yang baru merupakan tantangan dan peluang bagi penulis untuk meningkatkan dan mengembangkan potensi diri. Banyak hal-hal baru yang diperoleh, sehingga menumbuhkan motivasi intrinsik di dalam diri penulis untuk melakukan bimbingan dan tuntunan kepada murid hingga mereka mencapai kompetensi yang diharapkan, berdasarkan kesepakatan dan keyakinan bersama dalam kelas.
Dalam proses menerapkan budaya positif di kelas, banyak proses dan tahapan yang dilakukan oleh guru, namun dengan memiliki motivasi dan tujuan untuk melakukan proses pembelajaran yang berpihak pada murid, menjadikan guru tetap melaksanakannya dengan senang dan bahagia.
Sesuai dengan semangat guru penggerak bahwa guru merupakan pemimpin perubahan yang “tergerak, bergerak, dan menggerakkan.” Sehingga, dengan semangat tersebut perasaan penulis menjadi lebih termotivasi untuk terus berupaya dalam menuntun murid mencapai kodratnya yang mulia sesuai bakat dan potensi dirinya.
Berdasarkan pengalaman dan penerapan konsep budaya positif yang telah dilaksanakan oleh penulis di kelas pada tahap awal, terdapat beberapa hal yang sudah baik, diantaranya: (1) Tumbuhnya kesadaran murid untuk bertanggung jawab dalam merencanakan tindakan yang akan dilakukan dalam kegiatan pembelajaran; (2) Kesadaran murid dalam mengelola potensi dirinya sehingga dapat berkembang; (3) Terbangunnya kepercayaan dan hubungan yang lebih baik antara guru dan murid; (4) Kerjasama antar murid untuk saling mengingatkan dan mendukung satu sama lain.
Sementara, masih ada beberapa hal yang perlu diperbaiki, diantaranya: (1) Membangun bahasa komunikasi antara guru dengan murid, maupun antara murid dengan murid; (2) Membangun kolaborasi bersama rekan sejawat untuk bersama membangun budaya positif dengan mata pelajaran lain.
Terjadinya perubahan dalam proses pembelajaran yang mulai nampak dan proses perubahan berikutnya akan terus terjadi apabila dilakukan secara berkesinambungan. Sebab, proses pembelajaran adalah proses yang di dalamnya terdapat kegiatan interaksi antara guru-siswa dan komunikasi timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan belajar (Rustaman, 2001:461).
Sebelum mempelajari modul ini, ketika berinteraksi dengan murid dalam proses pembelajaran, penulis paling sering melakukan posisi kontrol sebagai pemantau. Karena, menurut pemahaman penulis bahwa murid sekolah menengah kejuruan semestinya sudah memiliki tingkat kedewasaan yang cukup untuk melakukan kedisiplinan dengan sadar. Sehingga, perasaan penulis dalam berinteraksi tersebut tidak mempertimbangkan kondisi batin, motivasi, dan latar belakang murid.
Namun, setelah mempelajari modul ini, penulis semakin memahami pentingnya mengetahui beberapa hal tersebut di atas yang menggerakkan murid dalam melakukan kegiatannya, baik dalam proses pembelajaran atau bahkan ketika melakukan pelanggaran yang terjadi dengan alasan tertentu.
Sebelum mempelajari modul ini, penulis belum menerapkan segitiga restitusi secara utuh, atau hanya melakukan sebagian tahapan, yaitu validasi tindakan yang salah dan menanyakan keyakinan dari murid sendiri tanpa adanya keyakinan kelas yang telah disepakati.
Langkah yang dilakukan oleh guru ketika menghadapi murid yang melakukan kesalahan, guru hanya memastikan bahwa murid mengakui perbuatannya yang salah menurut peraturan yang berlaku yang disertai dengan bukti dan saksi, namun tidak menanyakan alasan mengapa murid melakukan hal tersebut. Kemudian, guru pun meminta pernyataan kesalahan murid dari dirinya sendiri dan bersedia menerima konsekuensi.
Dari tindakan yang dilakukan oleh penulis tersebut menunjukkan bahwa langkah yang diambil belum sampai kepada murid untuk memperbaiki dirinya, serta menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri untuk dapat kembali di kelompoknya. Sehingga, murid masih merasa dirinya bersalah dan merasa dirinya berbeda dari teman-temannya yang lain.
Dengan demikian, sangat penting bagi guru untuk bisa mengambil peran yang tepat ketika menghadapi murid yang bermasalah sebagai bagian dalam proses pendidikan yang berpihak pada murid.
Sekolah menengah kejuruan merupakan satuan pendidikan vokasi yang tidak bisa terlepas dengan kemitraan antara sekolah dengan masyarakat maupun institusi yang berkompeten dalam pengembangan dunia pendidikan.
Pada tahun 1993, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Wardiman Djojonegoro dan Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Abdul Latif, mencetuskan link and match pada satuan pendidikan, khususnya sekolah menengah kejuruan. Tujuan dari link and match tersebut adalah mencetak tenaga kerja mandiri dengan program bersama, sehingga relevan dengan kebutuhan industri dan dunia kerja.
Dalam rangka mewujudkan budaya positif di lingkungan sekolah pun perlu adanya kemitraan tersebut. Sebab, budaya positif yang dibangun bukan hanya untuk kepentingan internal sekolah, namun juga menyiapkan lulusan yang memiliki karakter dan kompetensi yang unggul dan siap berkompetisi dalam dunia global.
Diharapkan, dengan kemitraan sekolah dengan dunia industri akan menghasilkan budaya positif yang lebih kompleks, khususnya bagi murid yang memiliki: (1) Kemampuan komunikasi yang baik; (2) Karakter dan komitmen yang kuat; (3) Karakter positif; (4) Passion dalam bekerja; (5) Visi dan misi; dan (6) Selalu ingin belajar (Joseph Teguh Santoso, M.Kom, 2022).
KESIMPULAN
Paradigma dan visi guru penggerak sebagai pemimpin pemelajaran dan perubahan sangat dibutuhkan dalam rangka menumbuhkan budaya positif di lingkungan sekolah, berdasarkan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara sebagai pondasi pendidikan nasional yang memanusiakan murid dan berpihak sepenuhnya pada kodrat murid sebagai pribadi yang unik dan mulia.
“SMK Negeri 10 Semarang, dari Semarang untuk Indonesia”
Penulis: Arimurti Asmoro, S.Pd., M.Pd., Calon Guru Penggerak Angkatan 11
Editor: Tim Humas dan Literasi
Sukses selalu Pak Ari dan SMKN 10 Semarang
Perubahan dan perubahan untuk menumbuhkan budaya positif pribadi anak didik adalah sangat HEBAT……..
Semangat PaK Ari sebagai Calon Guru Penggerak semoga bisa bermanfaat ilmunya sesuai filosofi Ki Hajar Dewantoro 👍
Terima kasih atas ilmunya, sukses selalu pak ari dan SMK Negeri 10👍🏻
Secara keseluruhan artikel sangat baik. Bapak pendidikan nasional kihajar dewantara.. tetap relevan hingga sekarang …. Semangat pak Ari.. menginspirasi banget.
Semangat dan sukses pak ari, semakin maju smk negeri 10 semarang
Sukses selalu untuk pak ari dan rekan2 CGP angkatan 11 dari SMKN 10 Semarang..
Sangat menginspirasi
Luar biasa kemitraan sekolah dengan dunia industri akan menghasilkan budaya positif
…filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara sebagai pondasi pendidikan nasional yang memanusiakan murid dan berpihak sepenuhnya pada kodrat murid sebagai pribadi yang unik dan mulia…
It’s an inspiring statement for us as teachers to face the students👍
thank you so much🙏
good job pak Ari…semangaat💪🏼
Humanized human 👍
Semangat Dan Sukses Pak Ari. Mantap dan luar biasa
Semangat pak Ari, artikel yang menginspirasi
Semangat Pak Ari..inspiratif
Sebagai guru penggerak harus bisa secara nyata menjadi guru yang mampu melakukan perubahan positif dengan memberikan layanan pendidikan yang berpihak pada murid.
Sukses selalu pak Ari semoga semakin menggerakkan perubahan positif di sekolah
Sangat menginspirasi ✨
Terima kasih sudah berbagi ilmu Pak Ari
Semangat dan sukses utk oak Ari
Semangat dan sukses Pak Arimurti.
Sangat menginspirasi
Luar biasa, menginspirasi
Sungguh terbaik
Budaya yang baik …menjadi budaya yang positif
Beri Komentar