Sebentar lagi bangsa Indonesia akan menggelar hajatan demokrasi yang secara periodik dilaksanakan 5 tahun sekali. Keberhasilan pesta Demokrasi Rakyat ini akan menentukan masa depan bangsa dan negara ini minimal 5 (lima) tahun kedepan. Pada Pemilu kali ini peran dan keterlibatan generasi muda menjadi semakin penting.
Pemilihan umum sebagai sarana pesta demokrasi menjadi sarana bagi beberapa negara di dunia termasuk Indonesia. Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia pertama kali dilaksanakan pada Tahun 1955. Selanjutnya selepas masa Orde Lama dan memasuki masa Orde Baru proses demokrasi lewat pemilihan umum ini belum mampu menyamakan nilai-nilai demokrasi yang matang, dikarenakan penerapan pemerintahan yang otoriter masa Orde Baru, bahkan di era reformasi fenomena-fenomena seperti mulai terasa muncul kembali.
Pada dasarnya Pemilihan Umum digelar untuk mencari dan memilih pemimpin-pemimpin bangsa yang bisa membawa bangsa ini yang lebih maju setara dengan bangsa-bangsa lain yang sudah terlebih dahulu sudah maju. Karena itu dicarilah anak-anak bangsa yang berpotensi menjadi pemimpin bagi bangsa ini. Pemimpin adalah “Agent of Change” dengan kegiatannya mempengaruhi orang lain, sehingga kualitas pemimpin dianggap sebagai faktor keberhasilan atau kegagalan suatu negara. Representasi pemimpin suatu negara dengan bentuk Republik diwakili oleh Presiden. Hal ini membawa konsekuensi bahwa setiap pemimpin (presiden) harus memberikan perhatian yang sungguh-sungguh untuk membina, menggerakkan, mengarahkan seluruh sumber daya yang ada dalam mencapai tujuan negara (Pohan, 2022 dalam Kumparan ).
Pada pemilu 2024 tahun depan, nuansa pemilihan Presiden RI berbeda dengan pemilihan presiden periode sebelumnya. Mari kita lihat setelah era Orde Baru berakhir, pada masa orde reformasi ini telah melahirkan tokoh-tokoh nasional yang menjadi presiden di negara ini dengan berbagai model kepemimpinan. Ambilah contoh dari sosok presiden B.J. Habbie sosok tehnokrat, Abduracman Wahid dengan karakter Budayawan, Megawati dengan karakter tegas dan keibuan. Susilo Bambang Yudoyono dengan sosok pemimpin yang santun dengan tutur bahasa yang runtut Serta Joko Widodo yan dikenal dengan gaya Kepemimpinan transformasional yang mengidentifikasi perubahan yang dibutuhkan dalam suatu komunitas dan merumuskan visi untuk menentukan arah perubahan.
Menurut Wima sekitar 56,45% pemilih pada Pemilu 2024 nanti didominasi pemilih muda, sebagaian diantara mereka ada dibangku sekolah dan bangku kuliah. Oleh karena itu, sosialisasi dan pendidikan pemilih, khususnya kepada pemilih muda sangat penting dan diupayakan bisa lebih bervariatif.
Lalu pertanyaan yang muncul, Bagaimanaa sekolah sebagai bagiaan dari institusi pendidikan resmi yang mengawal tujuan pendidikan nasional menyiapkan siswa-siswinya untuk untuk berpartisipasi dalam pesta Demokratis yang diselenggarakan 5 tahun sekali ?
Perlu Belajar dari Pemilu Tahun 1955
Guru sejarah tentunya memahami bahwa, setelah 10 tahun merdeka dengan segala dinamika politik ekonomi sosial yang menjadi tantangan dari negara kita yang baru merdeka. Dalam konteks sejarah kita diingatkan mulai dari: 1). munculnya Agresi Militer Belanda I dan II, 2). munculnya berbagai pemberontakan dalam negeri dengan latar berbeda-beda, (3). ekonomi negara yang berat (tidak mampu) ditandai jumlah penduduk yang miskin dan buta yang begitu besar.
Disaat kondiisi seperti itulah bangsa kita berhasil mengadakan pesta demokrasi pada tahun 1955 berlangsung jujur, adil dan demokratis dengan tingkat partisipasi pemilih yang tinggi. Bahkan data sejarah mencatat Peserta Pemilu 1955 mencapai 90% dari semua warga yang punya hak pilih, lebih dari 39 juta orang memberikan hak suaranya dan mewakili 91,5% dari para pemilih terdaftar. Prosentase suara sah sangat besar yang artinya meski banyak yang buta huruf, rakyat Indonesia cukup cerdas untuk memilih sampai-sampai sanjungan Herbet Feith, seorang profesor ilmu politik asal Australia pelaksanaan pemilu 1955 di Indonesia sebagai “kecerdasan Batin” dari pemilihnya.
Meskipun penggunaan dan hingar-bingar social media pada periode tahun itu belum ada seperti sekarang namun kesadaran rakyat untuk menggunakan momentum itu sebagai bentuk nasionalisme kepada bangsa dan negaranya sangat dijunjung tinggi. Alhasil pemilu Tahun 1955 benar-benar berjalan dengan jujur, adil, tertib dan lancar. Maka sepatutnya dari Pemilu Tahun 1955 pemerintah, penyelenggara Pemilu dan masyarakat bisa belajar dari kedewasaan warga masyarakat pada Pemilu tahun 1955.
Perlukah Simulasi Pemilu di Sekolah ?
Kegiatan simulasi merupakan bentuk pembelajaran Pemilu dan sekaligus sosialisasi bagi pemilih pemula. Sebagai satuan pendidikan resmi, sekolah melakukan fungsi kognitif dan psikomotorik, dengan cara mengimplementasikan kegiatan simulasi pemilu di dalam ruang kelas dimapel PPKn atau pun sejarah atau juga bisa melalui konsep Project Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) yang dikelola sekolah melalui OSIS atau bidang kesiswaan. Keputusan untuk melakukan simulasi pemilu di sekolah juga sangat bergantung pada tujuan dan kebijakan sekolah, serta konteks lokal yang ingin dicapai. Simulasi pemilu di sekolah menurut hemat saya memiliki beberapa manfaat, antara lain:
Walaupun tidak sempurna dari pelaksanaan simulasi, yang terpenting kegiatan simulasi Pemilu memberi ruang bagi siswa memberi makna seperti apa proses pendaftaran, kampanye, pemungutan (pencoblosan) suara, dan penghitungan suara di TPS. untuk Pemilihan Presiden (Pilpres), Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada).
Film Pemilu sebagai Media Pembelajaran Sejarah – Kewarganegaraan
Dalam rangka membangun kesadaranbersama untuk menciptakan pemilu sebagai sarana integrasi bangsa, mengajak pemilih menggunakan hak pilihnya dengan bijak, melawan politik uang, politik identitas dan SARA, serta membangun sikap toleransi, perlu pendidikan pemilih melalui media film atau video yang berkaitan dengan Pemilu. Film tentang Pemilu dapat menjadi pendekatan yang menarik dan efektif untuk membantu siswa memahami konteks sejarah, proses demokrasi, dan dinamika politik. Salah satu film yang direkomendasikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah Film “Kejarlah Janji”.
Film yang dirilis dalam rangka Pemilu 2024 ini mengusung pesan penting tentang pemilihan umum yang damai sekaligus mendorong partisipasi pemilih, khususnya generasi muda. Melalui film ini juga ingin dibangun kesadaran bersama untuk menciptakan pemilu sebagai sarana integrasi bangsa, mengajak pemilih menggunakan hak pilihnya dengan bijak, melawan politik uang, politik identitas dan SARA, serta membangun sikap toleransi. Film sangat kuat dalam menyampaikan pesan, hiburan, dan informasi kepada masyarakat secara luas, terutama untuk generasi milenial dan pemilih pemula gen Z,
Berikut beberapa manfaat dan pertimbangan terkait penggunaan film pemilu sebagai media pembelajaran sejarah:
Mengingat peran generasi muda (generasi milinieal) dalam pemilihan umum (Pemilu) 2024 sangat sentral untuk demokrasi, lebih-lebih menyongsong hajatan besar Pemilu Tahun 1955. Sekolah melalui guru bisa mengedukasi siswanya agar berperan mempersiapkan Pemilu tahun 2024 melalui Pembelajaran Sejarah dan Kewarganegaraan yang dikemas dengan cara-cara yang kreatif dan menarik. Diharapkan melalui kegiatan seperti ini dapat memberi kontribusi secara luas terhadap pelaksanaan Pemilu yang tertib, lancar, demokratis serta memiliki tingkat partisipasi yang tinggi. Semoga Bermanfaat.
“SMK Negeri 10 Semarang, dari Semarang untuk Indonesia”
Penulis: Slamet Adi Purwanto, S.Pd., M.Si., Guru Mapel Sejarah Indonesia
Editor: Tim Humas
S3mangat Pak Adi
Teman2 ingat Jasmerah…
Matur suwun…. Sdh memberi kesempatan utk menuangkan ide /gagasan…
Semangat. Betul sekali .
Memberikan pembelajaran terhadap siswa tentang demokrasi. Kebebasan bersuara ,berpendapat dan bertanggungjawab sesuai peraturan dan perundangan sesuai pasal 28 UUD 1945 dan P5.
Kerenn pak Adi..👍
Beri Komentar